Friday, July 29, 2005

Kereta Parahyangan

"Mas sudah menikah?" Kata bapak disebelahku dalam kereta Parahyangan. Aku gelengkan kepalaku. "Kok nanyanya begitu Pak?" Balasku.

Bapak itu mempunyai uban putih di alisnya dan kerungan hitam di bawah pelupuk mata. "Nggak. Saya heran aja sama adik. Bawa karangan bunga kok tapi saya lihat nggak ada cincin kawinnya."

Lho, memang ada hubungannya? Bisikku dalam hati. Karangan ini memang benar untuk pacarku dan benar kami belum menikah tapi haruskah keduanya berhubungan?

"Oo ini buat pacar saya Pak. Dia ulang tahun hari ini. Ceritanya mau bikin kejutan."

Ia memelototiku sebentar. "Adik umurnya 25-an ya?"

Kepalaku naik turun mengiyakan.

"Nggak kepingin nikah?" Katanya lagi.

Rese juga nih orang, kesalku dalam hati. Baru kenal sudah bertanya macam-macam. "Memangnya kenapa Pak?"

"Kenapa nggak nikah? Kalau soal rejeki mah nanti juga ada. Tau nggak dik? Ada dua pengalaman berharga saya: pertama pas saya nikah. Kedua waktu anak saya lahir. Pas nikah, istri saya kemana-mana saya jagain. Pas anak saya lahir justru sekarang istri saya cuekin. Fokusnya ke anak. Istri jatuh dibiarin tapi kalau anak jatuh, buyar konsentrasi."

Apalagi nih? Baru kenal sudah berani ngasih nasihat. "Maksud bapak?"

"Mumpung sekarang adik sudah ada jodohnya, kenapa nggak sekalian?"

Deng! Keberanianku mencela mendadak menyusut tiba-tiba. Buatku kata P besar itu punya makna lain: pertalian antara dua manusia dalam arti yang harafiah. Bukannya playboy tapi sumpah, belum siap meski aku sendiri cinta mati sama pacarku.

Bapak disebelahku rupanya telah tertidur, meninggalkanku pada pertanyaan besar: apa aku berani menjawab pertanyaan bapak tadi itu dengan nada lantang kesungguhan?

Kini aku dan tunanganku sedang mempersiapkan ruwetnya pernikahan. Tapi sampai sekarang aku masih ingat percakapan yang mengesalkan itu...

Thursday, July 21, 2005

Sepatu Olahraga Baru

Anak perempuanku kepingin sekali dibelikan sepatu olahraga baru. Punyaku sudah nggak jaman lagi, katanya. Istriku cuma menggeleng-geleng saat aku meliriknya. Istriku memang agak ketat soal uang. Ia hanya mau membelikan barang baru hanya di tahun ajaran baru. Titik.

"Kamu serius nggak mau beliin sepatu buatnya?" kataku ketika hendak tidur.

"No. Lagipula sepatu itu kan baru beli tahun kemarin. Masak sudah ketinggalan jaman gitu."

"Kamu nggak tahu anak jaman sekarang. Lihat sendiri kalau jalan di mall. Waktu kita dulu masih kecil mainnya telpon-telponan yang disambung benang. Sekarang mereka sudah pake PDA cuma buat ditelpon temennya doang."

Meski sudah kupaksa, ia tetap bersiteguh menolak untuk mengeluarkan uang. Walhasil malam itu kami terjaga hingga pukul 3 malam hanya untuk membicarakan masalah sepatu.

Paginya, anakku sudah berpakaian seragam sekolah lengkap, duduk cemberut di meja dapur, dan emoh untuk meminum susunya. Istriku membalas dengan menolak untuk memberikan sarapan pagi. Beruntung insiden kecil ini berhasil kuhentikan setelah kuingatkan istriku ada rapat awal lagi ini. Ia segera keluar dan pergi tanpa memanaskan mobilnya.

Sambil menungguku memanaskan motor, anakku masih cemberut. Pipinya tembem dan mulutnya monyong.

"Masih ngambek?" tanyaku. Ia tidak menjawab lalu naik ke motor dengan wajahnya yang manyun.

Di perjalanan menuju sekolahnya, aku membelok ke mall bukan ke sekolahnya. Ia memekik kencang.

"Loh, papa kok ke mall. Aku bentar lagi telat," pekiknya lucu.

"Bolos sehari nggak apa-apa kan? Mau sepatu baru nggak?"

"Nanti kalau mama nanya gimana?"

"Kalau kamu nggak bilang, papa juga nggak bilang oke?"

Hari itu aku bolos sehari dan bersenang-senang dengan anakku: beli sepatu, makan McDonald, beli baju, dsb.

Sorenya saat pulang, istriku yang kebetulan sudah pulang berdiri di depan pintu sambil menenteng sepatu baru dengan ukuran sesuai dengan kaki anakku.

"Mama belikan kamu sepatu baru asal kamu minum susu ya."

Aku dan anakku saling melirik dan kulihat ada letupan kebahagiaan di matanya.

Wednesday, July 20, 2005

Jim Morrison

Kafe tempatku bekerja mendapat kunjungan yang spesial: Jim Morrison datang dengan dua temannya! Sungguh kejutan yang menyenangkan. Jalannya sempoyongan sambil dipegangi temannya yang kurus dan berkaca mata. Sementara yang satunya lagi menarik kursi untuknya. Jim yang kulihat sekarang beda dengan yang ada di kover kaset. Lebih gendut dengan jenggot tebal menggantung di dagunya dan rambut gondrongnya kelihatan awut-awutan.

Pemilik bar lantas mengumumkan kedatangannya yang diiringi oleh riuh tepuk tangan dari pengunjung. Jim kemudian berdiri dan menundukkan badannya dengan sombong. Ia menikmati perhatian yang diberikannya.

"Tuan Morisson maukah kau menyanyikan satu lagu untuk kami?" kata pemilik bar.

Kemudian sambil mabuk, Jim merangkul pundak si pemilik bar,"Asal kau memberikanku sebotol whiskey tentunya."

Si pemilik bar mengangguk kegirangan. Ia lantas mengerdipkan matanya kepadaku untuk mengambil sebotol whiskey dari lemari minuman.

Jim bersusah payah berjalan menuju piano dan hampir jatuh saat duduk. Untung berhasil kucegah. Jim hanya tersenyum kecut padaku. "Thanks", ujarnya dengan aroma whiskey yang kental.

Jim kemudian menyanyikan sebait lagu yang tak pernah kudengar sebelumnya. Setelah selesai, ia kembali duduk di mejanya dengan (lagi) riuh tepuk tangan yang mewah. Di tengah keriuhan tepuk tangan itu, Jim melambaikan tangannya ke arahku.

"Terima kasih untuk memegangiku tadi. Kalau tidak habis sudah karirku," katanya.

Aku tersenyum. "Sudah tugasku."

"Kalau begitu," Jim memberikanku secarik kertas,"Besok kau datang ke apartemenku. Kutraktir kamu."

Jim kemudian pergi bersama kedua temannya. Salah seorang pengunjung mendekatiku dan berkata betapa beruntungnya aku diundang ke apartemen Jim Morrison karena ia agak-agak anti sosial. Oh betapa bangganya aku jika kuceritakan ke teman sekamarku soal ini. Ia pemuja berat The Doors.

Besoknya aku membaca di surat kabar: Jim Morrison telah meninggal di bathroom karena over dosis.

Monday, July 18, 2005

Kafe Seberang Apartemen

Setiap pergi ke kampus di pagi hari, kusempatkan waktu membeli secangkir kopi di kafe seberang apartemen. Tempatnya mungil dengan interior Prancis yang mengingatkanku pada film-film Alain Delon. Kursi-kursinya ditata rapi dengan meja bundar putih bergaya retro.

Karena sudah langganan, pelayannya hapal dengan pesananku: cafe latte dingin untuk dibawa. Tapi pagi ini, aku memutuskan untuk meminumnya disini karena kuliahku baru mulai 2 jam lagi. Aku duduk di pojok dekat kaca besar yang memungkinku melihat keluar. Sambil menyalakan sigaret, kurogoh tasku mencari pensil dan buku.

Saat hendak menulis, mendadak pandanganku beralih ke tiga deret meja dihadapanku: seorang anak perempuan, memakai sweater hijau mencolok, dan di lehernya melingkar kalung mutiara imitasi yang panjang sehingga ia nampak baru melangkah keluar dari tahun 1920-an. Ia kelihatan sibuk menggambar di bukunya. Sesekali ia meminum jus jeruk di sebelah kanannya dan kembali membenamkan dirinya lagi di buku gambarnya.

Berani benar anak ini. Sendiri duduk di kafe, tak ada rasa takut secuil pun. Padahal waktu pertama kali aku datang, lewat jam sembilan pun aku tak berani keluar apartemen. Ngeri melihat negro-negro yang nongkrong dekat pintu apartemen. Sungguh iri rasanya melihat keberaniannya.

Tak berapa lama, ia kelihatan bingung. Agaknya pensilnya patah. Tapi ia tak habis akal. Ia mengeluarkan cutter dan diserutnya pensil itu. Aku berdiri menuju ke mejanya dan kuberikan pensilku. Ia menatapku tanpa rasa takut.

"Thanks," katanya dan kembali sibuk menggambar.

Dan saat aku keluar dari restoran itu, mendadak aku jadi lebih berani.

Friday, July 08, 2005

Kesempatan

Suatu waktu, ada sebuah kesempatan yang aku sesali tidak pernah aku ambil. Waktu itu sudah malam dan bis DAMRI sudah tidak ada lagi berangkat dari Jatinangor. Kami memutuskan untuk naik angkot meskipun harganya 2 kali lipat. Angkotnya masih kosong. Aku duduk di pojok sementara ia juga di pojok namun dengan posisi berhadapan. Seingatku kami saling terdiam sekitar 5 sampai 10 menit. Biarpun aku dan dia sering mengobrol, tapi malam itu mendadak ada sebuah jarak antara kita. Seorang ibu kemudian masuk menumpang. Sedikit lega. Tapi ternyata sekitar 10 meter, ia turun. Kembali lagi hanya kami berdua.
Kami terdiam sampai di Bandung. Karena angkot kami jalurnya lewat persis depan kos-nya, ia turun dan mengucapkan selamat malam.
Sejak hari itu, aku tidak pernah ketemu lagi dengannya. Aku diterima magang kerja di Jakarta dan kudengar dia sudah lulus.
Bila malam itu aku mengucapkan sesuatu, mungkin ceritanya akan lain. Tapi mungkin saja tidak.

Detik

Ia hanya membutuhkan waktu sedetik untukku berpikir: eh, ternyata ia cantik juga. Tersenyum mengambang manis sementara silau sirik matahari menyelinap dari jendela di belakang tempat ia berdiri. Detik kedua, matanya mencuri mataku. Dan di detik ketiga, aku putuskan: ia perempuan yang aku ingin nikahi! Dan kini, 8 tahun kemudian, jika aku mengenangnya kembali, ia hanya cemberut kesal. "Padahal aku lagi melirik cowok di belakang kamu," katanya.

Sebuah sore saat mereka berdua

Ia ingat sore saat mereka berdua. Berjalan di bangku taman, meletakkan tangannya dipangkuan sementara tubuh mungilnya dipeluk dari belakang. Ia juga ingat saat silau kuning senja menerpa wajahnya dan jari kelingkingnya dikait manis. Dan sebegitu detil ceritanya, sampai aku tak tahan lagi: tepat saat itu juga, aku putuskan cinta kami.