Wednesday, December 20, 2006

Rhoma Irama

Kerja di dunia iklan, ternyata butuh stamina rohani dan jasmani. Rohani, waktu hati kita panas dengar klien minta revisi tapi brief nggak jelas, terus berubah naik bersuhu 100 derajat celsius waktu AE semena-mena minta deadline cuma sehari.

Selain itu, jelas stamina. Lebih sempit lagi: tahan begadang. Kalau dikasih deadline cuma sehari, ya mau gimana lagi? Siap-siap aja sedia rokok, kopi, dan (kalo kuat) extra joss, krating daeng, atau semacamnya tanpa campuran pletok tentunya.

Kemarin lusa, gue sama tim terpaksa merelakan kasur tersayang masing-masing di rumah dan tidur beralaskan kardus dan tikar (ini bukan metafora, ini kenyataan!) di kantor. Soalnya kemarin, jam dua harus presentasi ke klien. Buntutnya, hari ini mata gue masih bengkak dan lupa untuk mencukur jenggot. Masih belum cukup tidur.

Sebenarnya, rutinitas begadang udah gue lakukan sejak kuliah dulu. Entah itu nulis laporan, tugas, atau belajar kalau besok ada ujian. Juga kalau kawan menginap di kos, itu sih udah jadi keharusan. Mengobrol sampai pagi buta dengan tumpukan batang rokok dan gelas-gelas kopi.

Untungnya, semua capek dibayar tandas kemarin. Senyum di sudut klien udah jadi bahan yang cukup untuk melanjutkan mimpi di jok kursi mobil kantor...

Friday, December 15, 2006

Larut

Kusulut rokok yang dari tadi terselip di sudut bibir kemudian kuangkat gelas bir untuk melegakan tenggorokan. Mukaku terasa kelu. Mataku terasa kaku.

Pukul sebelas malam. Seharusnya tempat ini sudah ramai, tapi sekarang hanya terisi beberapa orang yang duduk di meja-meja belakang. Kujentikkan jari kepada bartender supaya mengisi kembali gelas bir.

"Boleh minjem apinya?"

Kuputar kepalaku. Seorang perempuan mengacungkan rokoknya kepadaku. Tangannya sedikit berbulu. Rambutnya hitam lentur, membelit lehernya. Gincunya mengkilap basah.

Kuraih lighter dibalik jaket dan kusulut rokoknya. Ia buang asapnya ke mukaku.

"Thanks," ucapnya. "Sendiri?"

Aku gelengkan kepalaku. "Temen belum datang."

"Boleh duduk disini?" katanya sambil menunjuk kursi sebelahku.

Sebelum kujawab, dia sudah meletakkan pantatnya di kursi. Diacungkan jari telunjuknya. Bartender kemudian datang dengan segelas bir.

"Untuk kita," katanya sambil mengangkat gelasnya.

Kusambut dengan ayunan mantap gelasku. Dia langsung meneguk tandas birnya. Setelah selesai, dia mengelap bibirnya dengan tangan kanan.

"Aku mabuk. Mau ke hotel?"

Kuberikan senyumku yang paling mewah. "I'm gay..."

Rautnya kemudian berubah agak aneh. "So sorry, I thought..."

"It's ok..." Kataku sambil tersenyum. "Masih mau kuantar?"

Dia lalu pura-pura melihat jam tangannya. Kelihatan sekali aktingnya.

"Oh, sudah malam. Aku pulang saja sendiri."

Aku tersenyum lebar. Dia lalu membalik tubuhnya dan pergi tanpa mengucapkan salam.

"Siapa tadi?"

Kualihkan kepalaku. Seorang perempuan bermuka masam berdiri di sebelahku.

"Cuma minjem korek doang. Lama amat datangnya."

Dia lalu mendaratkan bibirnya ke pipiku. "Kerjaan kantor...Biasa deh...Suamiku kangen ya sama istrinya?"

Kuletakkan bibirku di dahinya. "Menurutmu?"