Friday, December 15, 2006

Larut

Kusulut rokok yang dari tadi terselip di sudut bibir kemudian kuangkat gelas bir untuk melegakan tenggorokan. Mukaku terasa kelu. Mataku terasa kaku.

Pukul sebelas malam. Seharusnya tempat ini sudah ramai, tapi sekarang hanya terisi beberapa orang yang duduk di meja-meja belakang. Kujentikkan jari kepada bartender supaya mengisi kembali gelas bir.

"Boleh minjem apinya?"

Kuputar kepalaku. Seorang perempuan mengacungkan rokoknya kepadaku. Tangannya sedikit berbulu. Rambutnya hitam lentur, membelit lehernya. Gincunya mengkilap basah.

Kuraih lighter dibalik jaket dan kusulut rokoknya. Ia buang asapnya ke mukaku.

"Thanks," ucapnya. "Sendiri?"

Aku gelengkan kepalaku. "Temen belum datang."

"Boleh duduk disini?" katanya sambil menunjuk kursi sebelahku.

Sebelum kujawab, dia sudah meletakkan pantatnya di kursi. Diacungkan jari telunjuknya. Bartender kemudian datang dengan segelas bir.

"Untuk kita," katanya sambil mengangkat gelasnya.

Kusambut dengan ayunan mantap gelasku. Dia langsung meneguk tandas birnya. Setelah selesai, dia mengelap bibirnya dengan tangan kanan.

"Aku mabuk. Mau ke hotel?"

Kuberikan senyumku yang paling mewah. "I'm gay..."

Rautnya kemudian berubah agak aneh. "So sorry, I thought..."

"It's ok..." Kataku sambil tersenyum. "Masih mau kuantar?"

Dia lalu pura-pura melihat jam tangannya. Kelihatan sekali aktingnya.

"Oh, sudah malam. Aku pulang saja sendiri."

Aku tersenyum lebar. Dia lalu membalik tubuhnya dan pergi tanpa mengucapkan salam.

"Siapa tadi?"

Kualihkan kepalaku. Seorang perempuan bermuka masam berdiri di sebelahku.

"Cuma minjem korek doang. Lama amat datangnya."

Dia lalu mendaratkan bibirnya ke pipiku. "Kerjaan kantor...Biasa deh...Suamiku kangen ya sama istrinya?"

Kuletakkan bibirku di dahinya. "Menurutmu?"

1 Comments:

At 7:50 PM, Blogger hawe said...

Lapor, pak! Gw baru baca lagi blog elo setelah berapa lama. Makanya rajin dikit, dong.. Hehehe...

Ada obsesi nulis cerita silat nih? Mantap juga. Khas seorang Hendro. Sama kayak posting barusan, khas Hendro. Setting urban, gaya bahasanya, dan twist di akhir cerita.

Mantap!

 

Post a Comment

<< Home