Tuesday, May 29, 2007

Jaka

Setiap hari, Jaka bangun dari ranjang yang sama, bercermin di cermin yang sama, menyikat giginya menggunakan sikat gigi yang sama, merapikan rambutnya dengan sisir yang sama, memakai kemeja yang sama, celana panjang yang sama, kaos kaki yang sama, dan sepatu yang sama. Semuanya dengan warna yang sama.

Setiap hari pula, Jaka selalu berdiri di halte yang sama, pada jam yang sama, menyetop bis yang sama, dan duduk di bangku yang sama. Dia melihat pemandangan yang sama, rumah-rumah yang sama, orang-orang yang sama.

Di kantor, Jaka memulai rutinitas yang sama: pekerjaan yang sama, minum kopi dengan merk yang sama, di cangkir yang sama, menggunakan sendok yang sama. Jaka juga memesan makan siang dengan menu yang sama, makan di meja yang sama, sendirian.

Jaka baru pulang dari kantor pada pukul yang sama, melewati jam yang sama, naik bis yang sama, duduk di bangku yang sama, dan tidur.

Malamnya, Jaka menonton acara TV yang sama dan makan malam dengan menu yang sama. Setelah itu, ia memakai piyama yang yang sama dan menyetel wekernya di pukul sama.

Sebelum tidur, do’a Jaka selalu sama setiap malamnya: sekali waktu saja, ia ingin mimpi yang berbeda.

Wednesday, May 16, 2007

Jatuh

Pukul 11 malam, aku masih terikat pada kursi dan komputer. Aku regangkan badanku sedikit. Kepalaku melongok ke kubikel Art Director sebelah. Ia sedang memaku matanya ke layar Mac-nya. Aku sorongkan kepalaku maju ke kubikel anak magang depanku. Matanya memerah dan rambutnya acak-acakkan. Dia sedang bergulat dengan pensil dan kertas di hadapannya berusaha menemukan slogan yang tepat.

Aku menguap pendek. Mataku seakan dipatri dengan alis supaya tak menutup. Sekerat gelas kopi pun sudah mengibarkan bendera putih untuk menyangga mataku yang berat oleh kantuk. Aku berdiri untuk melepaskan otot kaku. Kusulut batang rokok terakhir dari bungkus lalu berjalan menuju jendela.

Di lantai 20 ini terlihat jelas nyala lampu dari gedung-gedung seperti lilin yang berjejer di atas altar. Aku buang asap rokokku keluar jendela. Dari atas sini, mobil-mobil mirip semut yang mengejar gula. Aku mengucek wajahku yang mati rasa. Berkali-kali aku membuka mulut menguap panjang. Malam ini seakan berhenti sepersekian detik.

Kubuka jendela lebar dan aku melompat keluar. Di luar, udara malam terasa mencubit kulit. Agak hati-hati, aku jaga keseimbanganku supaya tidak terpeleset. Tangan kananku berpegangan dengan bingkai jendela sementara tangan kiriku memegang rokok. Aku menoleh ke belakang. Semuanya masih sibuk dengan pekerjaannya. Besok ada presentasi pitch penting.

Hidup seakan mempunyai arti bila kamu berdiri di pinggir gedung setinggi ini. Mobil-mobil dan orang-orang seperti bisa kamu injak. Hanya di kesempatan ini, kamu bisa menertawakan betapa kecilnya orang lain.

Kuangkat kedua tanganku lebar menikmati angin yang mendorongku jatuh. Tubuhku anjlok seperti kapas. Kurasakan gravitasi menarikku. Kurasakan wajahku menyentuh kerasnya tembok udara. Kurasakan mataku sakit dicolok angin. Dan sekilas aku lihat aspal di bawah tersenyum, membuka tangannya, menyapaku jatuh...Jatuh kembali ke kursi dan komputerku.

Aku regangkan badanku sedikit. Kepalaku melongok ke kubikel Art Director sebelah.

"Copynya udah jadi?" Katanya.