Thursday, February 23, 2006

Tears of Fears

Dia melap air matanya dengan sapu tangan warna merah muda dari saku kemejanya yang telah basah. Tangan kanannya menggenggam setangkai bunga mawar merah dan tangan kirinya segelas whiskey. Matanya begitu sedih. Sesedih hujan deras di luar.

Dia menjetikkan jarinya. Seorang pelayan dengan setelan merah dan topi lucu datang. "Segelas lagi," katanya mabuk. Si pelayan mengangguk dan pergi.

Di tempat yang begitu ramai ini sungguh aneh melihat seorang pria malah mengasingkan dirinya. Sebelah mejanya, sekelompok pria dan wanita lagi bercanda sambil mengangkat gelas wine-nya tinggi, kelihatannya merayakan kenaikan jabatan di kantornya. Jarak dua meja darinya, satu keluarga: suami, istri, dan dua anaknya sedang makan malam. Salah satu anaknya meringis sakit ketika steaknya susah ditelah sementaranya ibunya sedang memaksa adiknya makan brokoli.

Sambil menenggak whiskeynya, ia meremas bunga mawarnya dan meletakkan dengan halus satu tangan merah mudanya. Ia menutup matanya sebentar sambil menghela napas panjang, meraih jaketnya, menaruh beberapa rupiah di atas meja, berdiri dan pergi.

Seorang pria, sejak kecil, selalu diajarkan untuk menahan sakit. Tapi kita tak pernah diajarkan menahan sakit di hati. Sakit ketika seseorang yang kita cintai pergi dan tak pernah menoleh kembali.

Tapi, ia dengan tenang, merelakan masa lalunya pergi dan-mungkin-berharap tak datang atau terulang kembali. Salut, kawan! Kuangkat cangkir kopiku untukmu, berharap aku pun bisa sepertimu.