Tuesday, March 25, 2008

Kopi Maria

Maria mengaduk cangkir kopinya berulang-ulang. Matanya hampa. Seperti seseorang telah mematikan sinar yang berada di dalamnya. Seseorang itu adalah aku.

Pelan kusentuh tangannya, menghentikannya agar tidak terus mengaduk.

“Berapa kali pun kamu aduk, itu akan tetap kopi,” candaku.

Ia sama sekali tak tertawa. Bahkan sama sekali tak menatapku. Maria lalu berjalan ke arah dapur dan duduk di meja makan. Kuikuti dia dari belakang dan juga duduk berhadapan dengannya.

“Maafkan aku, tapi sama seperti kopi itu, keputusanku tak bisa kuubah,” ucapku membelah kebisuan.

“Bahkan bila aku minta?” katanya tiba-tiba.

Kugerakkan kepalaku ke kanan dan ke kiri. Gerakan terberat yang pernah kulakukan seumur hidupku.

“Istriku memintaku pulang. Dan itu yang akan aku lakukan.”

Maria terdiam lagi. Dia lalu menyeruput kopinya dan meletakkan lagi di meja.

“Bagaimana dengan aku? Apakah kamu akan menghapus ini semua lalu di atasnya kamu tulis lagi supaya seakan tak pernah ada?”

Tenggorokanku tercekat. Skak mat. Tak ada kalimat yang bisa menyelamatkanku dari serangan kata-katanya. Patut kuakui, ia memang pandai dengan kata-kata.

“Lalu mau kamu, aku bagaimana?”

“Ya tetap di sini. Bersamaku. Jangan pulang. Mudah bukan?”

“Tapi semuanya tak semudah yang kamu pikirkan.”

Tiba-tiba tangannya bergetar. Muncul riak dari cangkir kopinya. “Kamu sama sekali tak mengerti apa yang aku pikirkan! Kamu kira selama ini kamu tahu setiap inci, setiap sudut pikiranku? Lalu dengan gampangnya kamu bisa menyimpulkan bahwa pikiranku itu seperti gelombang radio yang bisa kamu tangkap dan kamu dengarkan? You have no idea what I’m thinking and what I’m feeling right now!” Teriaknya. “Just go! Just get out and don’t come back!”

Aku seperti idiot yang tak pernah masuk sekolah luar biasa. Tak kusangka kemarahannya telah mencapai puncaknya. Ini batasnya. Apa yang diucapkannya adalah sabda. Tak ada pilihan selain aku harus pergi dari hadapannya.

Pelan aku beranjak pergi meninggalkannya. Maria sama sekali tak memandangku. Ia masih menatap hitam kopinya. Baginya aku cuma debu malam yang kasat mata.

Di tempat tidur flatku, mataku tak bisa kututup. Seakan ada kait yang menyantol di alisku, mencegahnya supaya jangan terpejam. Kubuka kulkas. Cuma ada sekaleng bir dan pizza dingin. Biasanya Maria yang membelikan segala keperluanku. Laki-laki butuh perempuan untuk mengatur hidupnya, katanya sambil tersenyum. Ah, senyuman yang pasti akan aku rindukan.

Kubuka kaleng bir dan kusulut sebatang rokok sambil menatap keluar ke arah malam. Kali ini, bulan cuma sepenggal. Setengahnya hilang. Sama seperti diriku sekarang. Hilang dimakan gelap.

Apakah aku bisa meninggalkan Maria? Setelah banyak cerita dan prosa yang kami buat dan ciptakan bersama. Tapi lantas bagaimana dengan istriku. Menantiku selama dua tahun. Menungguku di depan pintu, bersiap menyambutku.

Kemudian aku ingat alasan pertama aku berada di sini. Meski berat, istriku merelakanku pergi demi kami berdua. Demi anak kami yang wajahnya cuma kulihat dari foto dari e-mail.

Kutekan nomor rumahku di Indonesia. Dalam hitungan nano detik, terdengar suara di ujung sana. Suara istriku yang mengucapkan kata halo.

“Maaf,” jawabku. “Aku tak bisa pulang.”

Monday, March 17, 2008

MATSURI MARIA



Selama perayaan Matsuri, aku dan Maria sepakat untuk menghabiskan waktu seharian di flatnya, meminum sake, dan menonton DVD. Sebagaimana para perempuan Jepang di hari Matsuri, Maria mengenakan kimono hitam. Wajah putihnya dipulas dengan bedak tipis, sedikit polesan gincu warna merah, dan pipinya disapu merah perona. Rambutnya digulung ke atas sehingga memperlihatkan lehernya yang bening.

Kami hanya menonton DVD sambil menuang sake ke gelas dan menenggaknya tandas. Meski begitu, kami tak takut bosan. Sejujurnya, inilah yang aku inginkan. Maria menyenderkan kepalanya ke bahuku, melingkarkan tangannya ke tanganku, sambil kadang berkomentar tak penting atau bahkan tertawa kecil. Aku rela menukarkan semua waktu mudaku yang sia-sia untuk saat-saat seperti ini, meski hanya sedetik.

Tak terasa, semua DVD telah habis kami lahap. Bahkan beberapa di antaranya telah kami tonton berulang-ulang. Maria lalu menguap kecil dan menyambar gelasnya seperti elang, mengisinya dengan sake, dan menenggaknya langsung. Rasanya ia agak mabuk sedikit. Lalu ia berjalan ke pojok tempat dimana ia menaruh gitar, mengambilnya, duduk bersila dan mulai memetik bait awal Lucy in The Sky with Diamonds.

“Kamu tahu lagu ini,” tanyanya.

Aku anggukan kepalaku.

“Tahu kenapa John Lennon menciptakannya?” kembali ia bertanya. Aku merasa seperti berada dalam sebuah acara kuis musik di televisi.

“Semua orang tahu bahwa The Beatles tahun 60-an memakai obat, makanya tak heran kalau semua orang menyangka bahwa lagu itu tentang LSD kependekan dari Lucy in The Sky with Diamonds. Padahal menurut Lennon sendiri, ilhamnya berasal dari anaknya, Julian, yang pada suatu hari datang kepadanya, menunjukkan sebuah lukisan buatannya sambil berkata,’Look Dad! It’s Lucy! In the sky with diamonds.’ Betul kan?”

Maria tidak menjawab. Ia malah sibuk menyetem senar gitarnya.

“Kamu pernah membayangkan seperti apa anak kita nantinya?” Tanyanya tiba-tiba.

Aku agak terkejut. Belum pernah ia menanyakan hal seserius seperti ini.

“Maksudku, kalau suatu saat kita menikah,” ralatnya buru-buru setelah melihat raut wajahku yang aneh.

“Aku belum pernah memikirkannya,” ucapku. Sebuah jawaban abu-abu.

“Aku ke Kinokuniya beberapa hari yang lalu. Di sana sambil memilih buku, aku memperhatikan seorang anak perempuan. Ia memakai jaket merah muda dan sepatu dengan warna yang sama. Tangannya memegang buku anak-anak. Kemudian ia lalu berlari kecil ke arah ayahnya yang sedang membaca buku. Anak perempuan itu lalu bicara dalam bahasa Inggris yang sangat lancar, bahkan untuk anak seumurannya. ‘Look dad, look at these books,’ katanya. Ayahnya cuma mendehem pelan dan tidak memperhatikannya. ‘Can I buy it?’ tanyanya lagi. Ayahnya—tanpa melihat anak perempuannya—menggelengkan kepalanya. ‘You already buy one yesterday. Finish that first then you can buy a new book again,’ jawab ayahnya. Mendengar jawaban ayahnya, raut wajah anak perempuan itu segera berubah cemberut. Tapi sedetik kemudian berubah gembira lagi. ‘So that mean I can buy an ice cream?’ ucapnya lagi. Lucu sekali melihat anak perempuan itu. Pulang dari Kinokuniya, aku tak bisa menghapus wajah anak perempuan itu. Sejak itu, aku selalu memikirkan tentang mempunyai seorang anak. Menurutmu aku pantas menjadi seorang ibu?”

“Kamu pasti akan menjadi seorang ibu yang baik. Aku bisa membayangkannya. Kamu membacakan dongeng untuknya beserta gayanya sehingga ceritamu menjadi hidup di imajinasinya. Lalu ketika ia tertidur, kamu mengecup keningnya dan menyelimutinya. Pelan, kamu berbisik di telinganya tentang bagaimana kamu menyayanginya.”

Bibir tipisnya tersenyum. Matanya mengawang jauh. Wajahnya yang putih tertimpa sinar halus matahari. Sangat cantik. Ia seperti asik bermain di ladang pikirannya. Memanen tiap buah imajinasi yang ia telah tanam sebelumnya.

Dituangkannya lagi segelas sake dan meminumnya. Ia lalu berdiri dan berjalan ke rak CD di sebelah televisi.

Diambilnya CD album Sting dan menyetelnya. “Suka lagu ini?”

Aku menangguk.

“…See the children run among the fields of golds…When we walk the fields of gold,” lirihnya. Matanya terpejam seakan membayangkan ia berada di ladang itu.

Aku tak bisa melepaskan pandanganku darinya. Tubuhku seakan mati rasa tak bisa digerakkan. Seluruh syarafku tumpul. Tak mau aku menggeserkan mataku darinya. Pikiranku seakan disergap tsunami yang menyeretku ke dalam dirinya lalu melepehku kembali ke dunia nyata. Bolak-balik tak berhenti.