Wednesday, December 21, 2005

24/7

Kerja di dunia ad membutuhkan elo dua hal: daya kreativitas dan stamina begadang. Dua-duanya yang kini sedang gue mulai. Meski dulu masa kuliah masih bisa tahan 24 jam nggak tidur, kini mata udah susah diajak kompromi pukul 02.00 dini hari.

Apalagi sekarang gue udah punya istri. Agak berat sih kalau istri nelpon,"kamu pulang jam berapa?" trus gue jawab,"kayaknya aku nginep deh." Tenggorokan kayaknya tercekat. Beruntung istri gue juga kerja di dunia yang sama, jadi dia lumayan mengerti (meski sering menghiba supaya gue pulang lebih cepat).

Sebenarnya gue nggak setiap hari pulang malam. Ada kalanya, bisa pulang lebih cepat. Tapi kalau AE datang dengan dar der dor kerjaan, ya terima aja (sambil ngedongkol soalnya AE di kantor pulang lebih cepat dibandingin Kreatif). Ini udah bagian dari perjanjian setan kalau kerja di advertising musti mengorbankan waktu elo di rumah. Ini jalan menuju The Force. Bisa juga sih pilih The Darkside, tapi nanti dulu lah. Kalau ilmu gue udah setingkat Jedi Master baru milih jadi Lord Sith.

Kadang gue mikir, advertising itu apa emang pekerjaan buat mereka yang single? Tapi setelah gue pikir,"hey, it's part of the job." Jadi buat apa gue mengeluh?

Tapi kalau jam 2 pagi gue masih berkutat dengan komputer sementara istri gue tidur sendirian di rumah, jadi ngeri sendiri. 10 tahun kemudian masak gue masih begini aja?

Friday, December 16, 2005

Movie Magic

Semua orang yang mengaku maniak film pasti pernah mengalami "movie magic".

Movie magic adalah kejadian dimana elo mengalami sebuah "aufklarung" saat menonton sebuah film yang mengubah sudut pandang elo secara drastis. Ibarat keperjakaan, movie magic "mendewasakan" elo untuk tidak hanya dihibur oleh film tapi juga ada sensasi lainnya: obsesi yang gila-gilaan pada film.

Gue masih ingat movie magic gue. Waktu SMP gue diajak nonton Lethal Weapon 3 sama bokap. Ceritanya standar: polisi yang menangkal kejahatan yang dibintangi Mel Gibson. Tapi saking terkesimanya gue, sampai seminggu gue guling-gulingan di lantai pura-pura jadi Mel Gibson yang lompat menghindar peluru.

Sejak itu tiba-tiba gue maniak film. Semua film box office mesti gue tonton. Semua film yang punya sekuel mesti gue lahap. Semua bintang film mesti gue hapal. Dan selanjutnya berfantasi menjadi sutradara: kalau filmnya anu, yang main anu, pasti jadinya anu.

Bokap gue dengan bersahaja berlangganan majalah film (Ingat? Yang sampulnya cewek berbikini melulu?)untuk gue. Majalah ini jadi referensi gue setiap ada film baru nongol di bioskop lengkap dengan sinopsisnya. Jadi kalau ada film baru di bioskop, gue selalu cerita sinopsisnya biarpun nggak ditanya. Padahal kalau diingat, jaman dulu film belum ngetrend sampai sekarang.

Jaman sekarang film udah jadi simbol anti-kemapanan. Mendadak orang-orang suka sama film. Dulu pas gue SMA boro-boro kepikiran bikin film indie. Wong megang kamera aja masih mimpi (mahal jek!). Tapi sekarang? Di SMA gue dulu malah sekarang sudah ada ekskul film.

Film sampai sekarang masih jadi bagian yang erat dari hidup gue. Nggak percaya? Liat aja tuh dua boks kardus DVD gue (meski belum seberapa dibandingin sama 1000 koleksi temen kantor gue). Dan masih obsesi bikin film action kayak Lethal Weapon setelah pernah "nyicipin" bikin film remaja. Mudah-mudahan ada produser yang cukup gila di Indonesia...

So, this is my movie magic. And you?

Thursday, December 15, 2005

Minoritas & Toleransi

Hal yang selalu pertama kali gue lakukan kalau check in di hotel adalah menyalakan TV untuk melihat nih hotel punya cable nggak? Dan itu yang gue lakukan pas gue honeymoon di Bali. Menginap di hotel bintang 4 dekat Kuta Square bersama istri bukannya sibuk berencana malah duduk anteng di depan TV melihat siaran langsung pengundian grup Piala Dunia.

Setelah liar mengganti kanal, gue akhirnya memutuskan untuk melihat wawancara sebuah TV Australia dengan pengarang Saman, Ayu Utami. Pertanyaannya standar: tentang pornografi di novelnya dikaitkan dengan ketabuan seks di masyarakat Indonesia (nguap). Tapi karena istri lagi berenang dan gue nggak bisa berenang, ya sudah ditonton aja.

Tapi acara ini jadi membuat gue berpikir saat si pembawa acara bertanya pada Ayu Utami: sebesar apa toleransi beragama masyarakat Indonesia. Dan Ayu utami menjawab,"sebenarnya saya merasa diri saya sebagai seorang minoritas..."

Apa benar bangsa kita sudah tidak toleran lagi pada sesama agama? Fakta apa yang membuat Ayu Utami mengatakan bahwa ia menjadi minoritas?

Di kantor gue sekarang, yang muslim praktis cuma 4 orang dari 15 pegawai. Tapi gue sama sekali nggak merasa minoritas. Baik-baik aja. Meski ada satu teman gue yang aak-agak sinis tapi gue anggap itu cuma becanda garing aja.

Tapi ada satu atau dua kejadian yang mungkin bisa merefleksikan kejadian yang dialami Ayu Utami.

Di Bali tentunya nggak syah kalau nggak belanja. Istri gue membeli kaos untuk adiknya dengan sablon mirip salib. Ya nggak mirip sih, cuma emang kalau diliat ya salib. Dan sewaktu mertua gue melihat kaos itu, dia kesal kenapa istri gue membeli kaos tersebut karena bentuk desain sablonnya. Katanya, "kayak kamu apa aja sih..."

Kedua, sebelum gue menikah. Yang telah melihat undangan kawinan alternatif gue bagaimana menurut kalian? Biasa? Nah, tapi waktu gue mengirim undangan itu ke teman baik gue, dia bilang,"Kok bikinnya gini sih? Kayak elu mo kawin di gereja aja."

Rasanya ada gatal di lambung gue ketika gue membandingkan kedua kejadian di atas dengan apa yang dikatakan oleh Ayu Utami. Bangsa ini sudah hilang akal atau cuma perasaan? Ada yang bisa jawab?

Monday, December 12, 2005

Is it true that marriage is the worst thing that happen to a man?

Sori buat judul yang panjang di atas. Malah sebenarnya itu bukan judul tapi pertanyaan. Soalnya, sejak keputusan gue untuk menikah sampai detik menjelang pernikahan, semua teman berkata yang sama: bener loh?

This is a tricky question that needed a tricky answer.

Lucky, I do have the answer. Waktu gue memutuskan bahwa pacar gue nanti bakal dijadiin istri, gue 100% sudah paham semua konsekwensinya. Life is all about choices, if you choose one accept it dont regret it. Nggak perlu persiapan dana yang banyak kok untuk memicu sebuah perkawinan. Cuma butuh mental baja dan banyak kompromi. So for you guys who dont feel that compromize is the path to the force, then think again :)

Gue seneng bisa menikah dengan orang yang tepat karena bisa memotivasi gue yang butuh motivasi. Seenggaknya pas ngeliat istri gue tidur disebelah dengan bibir monyong (dan kadang ngiler) dan kaki mengangkang ke atas dan menempel ke tembok, hell, I feel lucky indeed...