Tuesday, September 27, 2005

Tak ada yang bisa menolak keinginannya

Tak ada yang bisa menolak keinginannya. Dengan gaya merajuknya dan suara manjanya, logika langsung meleleh keluar lewat telinga.

Seperti pada hari ini. Ia memintaku menjemputnya di tempat fitness pada jam delapan malam. Aku sedang terbelit deadline sementara ia memaksa untuk segera datang. Jelas, permintaan ini tak kuasa aku iyakan. Aku sudah jelaskan panjang lebar,'besok mesti presentasi dan ini baru 50 persen selesai.' Tapi ia memaksa. Aku juga memaksa bahwa kali ini tak bisa menjemputnya. Ponselnya langsung mati detik berikutnya.

Nah, aku sekarang bisa lebih konsen mengerjakan beberapa copy untuk iklan. Tak lama,ia menelpon lagi. 'Kamu harus datang! Atau...' katanya. Aku bilang,'atau apa?' Klik. Ponselnya mati lagi.

Persetan! Aku harus segera menyelesaikan pekerjaan supaya bisa cepat pulang. Ah, pukul 9 malam dan jarum jam masih berputar.

Ia menelponku lagi. Kali ini suaranya lebih manis dari sebelumnya. 'Maafin aku ya...Kayaknya aku egois deh...Aku selalu bikin susah kamu ya?' lirihnya.

'Nggak kok. Cuma aku lagi sibuk aja,' ujarku. Ia kemudian melanjutkan rajukannya (yang aku sudah tahu cara menangkalnya),'Uh, kayaknya kamu yang banyak berkorban ya demi aku. Demi kita. Aku sendiri jarang.' Wah, ini maut. Belum pernah kalimat ini terucap dari bibir tipisnya.

'Ya sudah. Kamu pulang naik taksi aja ya...Aku mau kerja lagi...' kataku. Ia mengiyakan. Dan kututup telponnya. Wah, rasanya benar-benar pria sejati lagakku. Untuk pertama kalinya, aku bisa menolak permintaannya dan aku bangga akan prestasi ini.

Untuk merayakannya, aku putuskan untuk istirahat sebentar menonton TV. Acaranya berita kriminil malam tentang perampokan dalam taksi pada jam 9 malam. Korbannya seorang wanita yang pulang naik taksi. Pas dekat rumahnya, taksi itu mendadak berhenti dan dua orang pria masuk, memaksanya memberikan uang. Total kerugian: 3 juta ludes dari mesin ATM-nya serta kalung dan cincinnya.

Aku mencerna sebentar inti berita itu. Taik! Tanpa banyak cakap, kuambil kunci motor dan kabur dari awasan bos untuk segera menjemputnya.

Tuesday, September 20, 2005

Ilusi

Nope! Gue nggak akan menulis tentang David Copperfield, Harry Houdini, atau The Mask Magician. Gue mau bicara soal ilusi yang kini menganggu pikiran gue.

Sejak pertama kali gue masuk industri ini, yang selalu gue dengar cuma satu: award. Entah kenapa, kata ini menjadi kata suci sama dengan kata fakta di jurnalistik. Apapun yang gue pikirkan, kerjakan, utarakan, kemukakan, tuliskan, atau kan kan yang lain hilirnya ke award-award juga. Kayaknya gue di judge..."wah, musti yang kreatif dong", "yang out of the box dong","yang kelasnya adfest dong"...dang ding dong...

Lama-lama gue jadi mikir, award itu jangan-jangan ilusi. Ilusi yang dibentuk untuk copywriter-copywriter dan art director-art director muda yang masih bergairah untuk berzinah dengan isi kepalanya supaya kreativitasnya terpacu muncrat. Ilusi yang mendorong mereka untuk berprestasi. Ilusi yang membuat kita pengen martubasi.

Tapi kok, gue seneng ya sama ilusi ini. Kayak ada membisik di telinga,"wah mas, gini doang mah agency anu juga bisa...Begini sih nggak bakalan dapat award...Nggak dapat award Nggak bisa naik jabatan jadi full copywriter...Nggak bisa naik jabatan nggak bisa nego gaji...." Nah loh? Kalo udah begini mau gimana?

Huh! Kata siapa kerja di industri iklan gampang? Susah...Apalagi pas liat teman elo naik panggung Citra Pariwara. Nyaho luh...