Thursday, February 01, 2007

Maria


Kulihat dia sedang duduk di pojok Bioskop dekat mesin Popcorn. Tangan kanannya memegang buku sementara tangan kirinya sibuk memilin utas rambut yang jatuh di dahinya. Sesekali ia mengucek matanya yang tipis atau menggigit bibirnya. Mungkin karena kesulitan mencerna isi bukunya.

Malam itu, ia memakai sweater rajutan putih dengan kaos putih dibaliknya. Wajahnya polos dengan sapuan bedak tipis. Bibir kecilnya hanya dihias pulasan gincu halus.

"Baca apa?" Aku duduk disampingnya sambil membuka mantel hijauku.

Ia menutup bukunya dan dengan hati-hati diletakkan di pangkuannya. Ia tersenyum. "Sartre," jawabnya pendek sambil menggulung rambutnya kebelakang. Giginya menggigit jepitan rambut.

"Oh, yang dulu kamu beli itu? Belum habis dibaca?"

Ia gelengkan kepalanya manja. Buntut rambutnya dengan ringan ikut mengibas. "Kamu telat," katanya.

"Bukan aku yang telat tapi Shinkansen. Pemerintah harusnya lebih peduli dengan hal kayak gini..." Kesalku.

Tiba-tiba ia tutup mulutku dengan telunjuknya. Bau manis Strawberry dari lotion tangannya berkunjung ke hidungku. "Hush...Jadi kita mau nonton apa?"

"Kudengar film barunya Ben Stiller lucu...Mau nonton yang itu?"

"Nggak ah...Temanku bilang film Iran tentang cewek-cewek yang mau nonton bola itu bagus," jelasnya sambil menunjuk ke salah satu poster film.
"Kamu yakin? Entar kamu ketiduran loh."

"Nggak ah. Sudah saatnya aku mulai nonton film-film festival kayak gituan."

"Ya sudah," kataku sambil menggandeng tangannya.

Di dalam, ternyata sedikit orang yang menonton. Ada beberapa pasangan duduk di pojok-pojok sekitar theatre.

Ia kemudian menarik kepalaku. "Menurutmu kenapa mereka mau nonton film kayak beginian?" Bisiknya lembut.

"Ah, dulu bukannya kita juga begitu?" Candaku. Ia tertawa cekikikan. Matanya menutup setiap ia tertawa. Kadang, setiap ia tertawa, kukejutkan dia dengan ciuman.

Kami duduk persis di tengah (Ia selalu minta kursi di tengah kalau di bioskop) dan mulutnya tak berhenti mengunyah popcorn. Begitu filmnya dimulai, ia menyenderkan kepalanya ke bahuku dan mengikat lengannya ke lenganku.

Sebenarnya cerita filmnya bagus. Kisahnya tentang bagaimana wanita di Iran ingin diakui haknya, salah satunya persamaan hak menonton pertandingan antara Iran dan Bahrain di stadion. Kulirik Maria yang sudah tertidur di bahuku. Pulas sekali. Kata orang, wanita tampil cantik ketika sedang tertidur dan aku sepakati. Wajahnya cantik sekali saat ditimpa sinar dari proyektor. Separuhnya tertutup oleh rambutnya yang halus selembut.

Pelan kuangkat tangannya dari lenganku dan kuletakkan di atas pahanya. Lalu kukecup lambat rambutnya, membelainya lembut, meletakkan kepalaku di kepalanya, dan ikut memejamkan mata.