Thursday, May 22, 2008

90% Maria




Hampir saja aku lupa janjiku dengan Maria sore ini. Tenggelam di tumpukan berkas-berkas thesis membuatku lupa menghitung waktu. Setengah jam lagi aku harus muncul di hadapannya atau dia akan membenciku seumur hidupnya.


Secepat kilat, kurapikan buku-bukuku di meja, kusambar mantelku, dan lari sekencang Cheetah kelaparan menuju tempat kami bertemu, sebuah klub Jazz di Harajuku. Klub ini baru dibuka kira-kira dua bulan. Lokasinya berada di jalur aku pulang menuju apartemen. Tempatnya tidak terlalu ramai, tapi musiknya selalu menjewer kupingku memaksa untuk masuk. Tapi aku tak mau menikmati Jazz sendirian seperti lelaki payah yang baru saja di PHK. Makanya, aku ajak Maria ke sana.


Beruntung, jarak antara apartemen dengan Harajuku hanya 15 menit dengan berlari dan aku hanya telat 1 menit. Tapi Maria telah memasang muka masam di depan pintu masuk sambil pura-pura mengecek jam tangannya.


"Jam tanganku kayaknya rusak nih. Soalnya harusnya kamu sampai di sini semenit yang lalu," sindirnya.


Aku cuma menggaruk rambut sambil memberikan senyum terburukku. Tanpa memberikan alasan, langsung kutarik tangannya masuk ke dalam.


Kami memilih meja yang tidak terlalu dekat dengan panggung. Aku sebenarnya tak suka suara bising. Mengganggu obrolan, menurutku. Kami memesan dua gelas bir dan semangkuk kentang goreng pada pelayan yang mukanya mirip dengan wajah orang Prancis yang kakinya terinjak roda mobil.


Interior klubnya tidak terlalu istimewa. Hanya beberapa sofa di pojok dan meja dan kursi biasa yang sering ada di klub-klub semacam. Di dinding hanya ada beberapa poster Duke Ellington, Count Bassie, dan musisi Jazz lainnya. Cuma interior pendukung bahwa ini sebuah klub Jazz.


Di panggung, seorang lelaki tua, kira-kira berumur 50-an, bertubuh gempal, memakai setelan jas hitam sedang meniup saxophonenya. Butir-butir keringat jatuh di keningnya. Setiap habis satu lagu, ia akan mengelap keningnya dan mulai lagi meniup saxophone-nya.


Aku melirik Maria. Rambutnya baru dipotong pendek dengan serpihan warna emas di ujungnya. Bibirnya dibiarkan bersih tanpa gincu. Pipinya dibilas warna merah, tapi tidak tebal. Ia nampak serius memperhatikan si bapak tua di panggung. Kakinya terus bergerak menemani alunan musik yang keluar dari saxophone.


Maria adalah wanita yang unik. Untuk perempuan seumurannya, dia hapal tiap bait puisi dari Pablo Neruda. Bacaannya saja Jean Paul Sartre. Tiap kali dia mengajakku mengadu soal filsafat, hanya dalam dua gebrakan aku sudah terkapar. Makanya, dia kuberi julukan Maria si gadis filosofis. 


Kalau tersenyum, ada cekungan di pipinya. Bila tertawa, dia akan mengeluarkan suara seperti ibu-ibu kaya di daerah Roppongi. Bulu-bulu di tangannya berwarna pirang dan bila ia diam, matanya seperti hilang. Seakan dia memikirkan tentang sesuatu tapi tidak. 


Dia selalu bercerita tentang semua mimpi-mimpinya. Bagaimana ia ingin untuk bertualang ke tempat asing dengan pantai yang indah di mana ia bisa menulis di tepinya, memanen buah imajinasinya yang ia tanam. Dia juga ingin merekam lagu ciptaannya dengan gitar dalam sebuah album akustik. Semuanya diceritakannya padaku. "Aku harus menceritakan semua mimpi aku. Harus!" katanya.


Mencari perempuan yang 100 persen sesuai dengan keinginan kita seperti mencari jarum di tumpukan jarum. Maria mungkin bukan perempuan yang 100 persen seperti yang kumau. Tapi bisa kuyakinkan diriku bahwa Maria adalah perempuan 90 persenku.


Si lelaki tua di panggung akhirnya menyerah dengan saxophonenya. Ia turun dari panggung dan duduk di meja bar. Ia jentikkan tangannya memesan segelas bir kepada pelayan. Beberapa detik kemudian, minumannya datang dan detik berikutnya sudah hilang masuk ke dalam tenggorokannya.


"Sejak kapan kamu suka Jazz? Kamu kan benci Jazz" Kataku.


Maria memberiku tertawa kecil khasnya. "Gak tau deh. Sejak kapan ya?"


Ia lalu menyenderkan kepalanya ke bahuku dan melingkarkan tangannya ke tanganku. Suara nafasnya jelas terdengar di telingaku. 


"Pulang yuk. Kita ke apartemenmu aja. Kita nonton Indiana Jones yang baru kamu beli," bisiknya.


Aku cium kepalanya. Bau buah-buahan dari shampo rambutnya menyelinap masuk ke cuping hidungku. Aku lalu memberi tanda pada pelayan supaya membawa tagihan.


Si pelayan lalu datang membawa map tagihan ke mejaku dan berdiri di sana seperti polisi yang baru menilang. Kurogoh kantung celanaku mencari dompet.


Mendadak mukaku berubah pucat seperti mayat. Jantungku seakan mau lari dari sarangnya. Butir-butir keringat sebesar Melon jatuh di keningku. Nafasku naik turun tidak beraturan dan mataku menjadi kunang-kunang.


"Ada apa? Kamu kok tiba-tiba keringat dingin gini?" Tanya Maria gelisah.


Pelan kutempelkan bibirku di telinganya. "Maafin, tapi kayaknya dompetku tertinggal di apartemen..." Bisikku.