Jim Morrison
Kafe tempatku bekerja mendapat kunjungan yang spesial: Jim Morrison datang dengan dua temannya! Sungguh kejutan yang menyenangkan. Jalannya sempoyongan sambil dipegangi temannya yang kurus dan berkaca mata. Sementara yang satunya lagi menarik kursi untuknya. Jim yang kulihat sekarang beda dengan yang ada di kover kaset. Lebih gendut dengan jenggot tebal menggantung di dagunya dan rambut gondrongnya kelihatan awut-awutan.
Pemilik bar lantas mengumumkan kedatangannya yang diiringi oleh riuh tepuk tangan dari pengunjung. Jim kemudian berdiri dan menundukkan badannya dengan sombong. Ia menikmati perhatian yang diberikannya.
"Tuan Morisson maukah kau menyanyikan satu lagu untuk kami?" kata pemilik bar.
Kemudian sambil mabuk, Jim merangkul pundak si pemilik bar,"Asal kau memberikanku sebotol whiskey tentunya."
Si pemilik bar mengangguk kegirangan. Ia lantas mengerdipkan matanya kepadaku untuk mengambil sebotol whiskey dari lemari minuman.
Jim bersusah payah berjalan menuju piano dan hampir jatuh saat duduk. Untung berhasil kucegah. Jim hanya tersenyum kecut padaku. "Thanks", ujarnya dengan aroma whiskey yang kental.
Jim kemudian menyanyikan sebait lagu yang tak pernah kudengar sebelumnya. Setelah selesai, ia kembali duduk di mejanya dengan (lagi) riuh tepuk tangan yang mewah. Di tengah keriuhan tepuk tangan itu, Jim melambaikan tangannya ke arahku.
"Terima kasih untuk memegangiku tadi. Kalau tidak habis sudah karirku," katanya.
Aku tersenyum. "Sudah tugasku."
"Kalau begitu," Jim memberikanku secarik kertas,"Besok kau datang ke apartemenku. Kutraktir kamu."
Jim kemudian pergi bersama kedua temannya. Salah seorang pengunjung mendekatiku dan berkata betapa beruntungnya aku diundang ke apartemen Jim Morrison karena ia agak-agak anti sosial. Oh betapa bangganya aku jika kuceritakan ke teman sekamarku soal ini. Ia pemuja berat The Doors.
Besoknya aku membaca di surat kabar: Jim Morrison telah meninggal di bathroom karena over dosis.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home