Kopi Maria
Maria mengaduk cangkir kopinya berulang-ulang. Matanya hampa. Seperti seseorang telah mematikan sinar yang berada di dalamnya. Seseorang itu adalah aku.
“Berapa kali pun kamu aduk, itu akan tetap kopi,” candaku.
Ia sama sekali tak tertawa. Bahkan sama sekali tak menatapku. Maria lalu berjalan ke arah dapur dan duduk di meja makan. Kuikuti dia dari belakang dan juga duduk berhadapan dengannya.
“Maafkan aku, tapi sama seperti kopi itu, keputusanku tak bisa kuubah,” ucapku membelah kebisuan.
“Bahkan bila aku minta?” katanya tiba-tiba.
Kugerakkan kepalaku ke kanan dan ke kiri. Gerakan terberat yang pernah kulakukan seumur hidupku.
“Istriku memintaku pulang. Dan itu yang akan aku lakukan.”
“Lalu mau kamu, aku bagaimana?”
“Ya tetap di sini. Bersamaku. Jangan pulang. Mudah bukan?”
“Tapi semuanya tak semudah yang kamu pikirkan.”
Tiba-tiba tangannya bergetar. Muncul riak dari cangkir kopinya. “Kamu sama sekali tak mengerti apa yang aku pikirkan! Kamu kira selama ini kamu tahu setiap inci, setiap sudut pikiranku? Lalu dengan gampangnya kamu bisa menyimpulkan bahwa pikiranku itu seperti gelombang radio yang bisa kamu tangkap dan kamu dengarkan? You have no idea what I’m thinking and what I’m feeling right now!” Teriaknya. “Just go! Just get out and don’t come back!”
Aku seperti idiot yang tak pernah masuk sekolah luar biasa. Tak kusangka kemarahannya telah mencapai puncaknya. Ini batasnya. Apa yang diucapkannya adalah sabda. Tak ada pilihan selain aku harus pergi dari hadapannya.
Pelan aku beranjak pergi meninggalkannya. Maria sama sekali tak memandangku. Ia masih menatap hitam kopinya. Baginya aku cuma debu malam yang kasat mata.
Di tempat tidur flatku, mataku tak bisa kututup. Seakan ada kait yang menyantol di alisku, mencegahnya supaya jangan terpejam. Kubuka kulkas. Cuma ada sekaleng bir dan pizza dingin. Biasanya Maria yang membelikan segala keperluanku. Laki-laki butuh perempuan untuk mengatur hidupnya, katanya sambil tersenyum. Ah, senyuman yang pasti akan aku rindukan.
Kubuka kaleng bir dan kusulut sebatang rokok sambil menatap keluar ke arah malam. Kali ini, bulan cuma sepenggal. Setengahnya hilang. Sama seperti diriku sekarang. Hilang dimakan gelap.
Apakah aku bisa meninggalkan Maria? Setelah banyak cerita dan prosa yang kami buat dan ciptakan bersama. Tapi lantas bagaimana dengan istriku. Menantiku selama dua tahun. Menungguku di depan pintu, bersiap menyambutku.
Kemudian aku ingat alasan pertama aku berada di sini. Meski berat, istriku merelakanku pergi demi kami berdua. Demi anak kami yang wajahnya cuma kulihat dari foto dari e-mail.
Kutekan nomor rumahku di
“Maaf,” jawabku. “Aku tak bisa pulang.”