How Stone Roses saves my soul
Pertama kali saya tahu Stone Roses kira-kira kelas 3 SMA. Waktu itu pas jam kosong. Teman saya yang jago gitar lagi ngulik lagu di walkman-nya. (berikut saya coba ingat kejadiannya, lengkap dengan kosa kata 90-an)
"Lagi denger ape lu?"
"Stone Roses."
"Apanya Guns n roses?"
(Catatan: waktu itu saya belum memutuskan pilihan genre musik saya. Jadi referensi musik waktu itu kalau bukan heavy metal, ya rap.)
"Ca'ur lu. Keren abis nih band. Nih denger."
Dia lalu memasang salah satu earphone ke telinga saya. Sumpah, bukan melebih-lebihkan, tapi waktu saya mendengar sengaunya Ian Brown, cakaran senar John Squire, cubitan bas Mani, dan gebukan drum set Reni, saya benar-benar dapat pengalaman baru. Musiknya yang agak psikedelik, bikin saya kayak melayang ke langit ke tujuh!
Langsung saya sembah-sembah teman saya untuk pinjam kasetnya. Awalnya dia menolak karena reputasi saya sebagai tukang pinjam yang tak pernah mengembalikan. Tapi karena saya gak berenti merayu (temen saya ini cowok, jadi bayangkan saja kerasnya usaha saya), akhirnya dia luluh juga (sebuah keputusan yang masih disesali sama dia karena saya gak pernah balikin kasetnya).
Pulang sekolah, saya masuk kamar. Kunci pintu dan langsung menyetel kasetnya. Jiwa saya merasa terbebas saat itu juga. Maksudnya, saya seperti menemukan dunia saya, yaitu musik. Soalnya menurut saya, selama SMA, ada tiga kasta besar: Sport, Musik, dan Akademik. Di luar dari 3 itu, jadi Alay.
Sejak itu saya tergila-gila sama musik. Sampai akhirnya saya jatuh cinta sama musik Britpop hingga sekarang. Tapi saya gak pernah lupa sama Stone Roses dan mimpi, suatu hari, saya bisa melihat mereka main dalam satu panggung.
Dan mimpi itu jadi kenyataan. Istri saya yang tahu saya fans berat Stone Roses memberi tahu kalau Stone Roses akan main di Singapura. Dia menawarkan kalau saya mau nonton atau tidak. Saya tolak (meski berat) karena ongkosnya pasti mahal dan duitnya lebih baik buat sekolahnya si Rakai. Tapi ternyata, diam-diam istri saya membelikan satu tiket buat saya. Ketika diberitahu, jantung rasanya mau copot. Akhirnya saya bisa menyaksikan band yang mengubah hidup saya...
Dan waktu melihat Ian Brown, John Squire, Mani, Reni main dalam satu panggung, mata saya berair. Hidup saya seperti berkilas balik ke jaman saya pakai topi pancing, pakai jaket adidas, dan jins sambil melempar-lempar mic ala Ian Brown. Jelas buat saya, menyaksikan Stone Roses seakan menjadi momen yang pasti diingat sama saya.
Mungkin, suatu saat, kalau ketemu teman saya yang meminjamkan kasetnya, saya akan bilang terima kasih.