“Anakku lahir tadi pagi,” lirihku di telepon.
“Laki apa perempuan?” Tanya Maria.
“Laki.”
“Normal atau cesar?”
“Normal. Masuk jam 9 pagi kemarin, baru melahirkan jam setengah dua siang hari ini.”
“Wow. Lama banget. Tapi istri kamu gak apa-apa kan?”Dari suaranya nampak terkejut. Tapi aku tahu dia pura-pura. Dia memang tidak bisa berbohong.
“Cuma masih kelelahan saja. Dia lagi tidur.”
“Anak kamu persis kamu?”
“Untungnya gak, kasian dia nantinya,” jawabku sambil tertawa.
“Lho kok gitu? Punya anak gak mirip sama kamu kok malah bersyukur,” tanyanya heran.
“Soalnya kalo mirip sama aku, masa remajanya bakal sama kayak aku: gak disukain perempuan yang berbuntut sama mabok-mabokan ha ha ha.”
Aku bisa mendengar suara tertawanya dari ujung telepon satunya lagi. Sejak pulang ke Jakarta, berhubungan dengannya lewat telepon bisa dihitung dengan jari.
“Kalau aku punya anak, seperti apa ya nantinya?”
“Kalau perempuan, cantik kayak kamu.”
“Gombal! Emangnya siapa yang bilang aku cantik?”
“Ya aku lah! Makanya…”
Ups, aku baru sadar kalau baru saja lidahku terpeleset. Segera aku tutup rapat-rapat mulut sialan ini sambil menunggu reaksinya. Tapi tidak ada sahutan apa-apa darinya. Kami lalu terdiam beberapa detik. Lalu aku dengar jawabannya…
“Makanya kamu cinta aku?”
Aku tahan mulutku yang bandel ingin menjawab pertanyaannya.
“Kamu cinta aku melebihi istri kamu?” Tanyanya lagi.
“Kita sudah pernah membahas ini,” jawabku menggantung.
“Ya kita bahas lagi sekarang. Lupakan istrimu dan tinggal sama aku di Tokyo.”
Aku akan berbohong kalau aku tidak pernah berpikir soal itu sebelumnya: pergi dari Jakarta, tinggal di Tokyo bersamanya, dan melupakan masa lalu. Tapi aku juga belum bisa menjawab pertanyaan apakah aku akan lebih bahagia?
Aku jatuhkan pantatku di ujung ranjang istriku tidur. Dia nampak lelap setelah seharian berusaha melahirkan. Lalu aku lihat anakku disebelahnya. Matanya, bibirnya, jari-jarinya. Tidak ada yang lebih sempurna.
“Halo Maria. Aku telepon kamu lagi. Istriku baru saja bangun.”