Thursday, August 27, 2015

Aku Melihat Dia



Aku melihat dia di keramaian.
Dia. Wanita yang dulu pernah kuhujani dengan puisi dan lagu. Rautnya tidak berubah. Masih cantik. Masih membuat dadaku berdegup keras.
Tempat dia berdiri dengan aku menjejakkan kaki hanya 100 meter. Tapi buatku, rasanya lebih dari 13 tahun. Dia memakai kemeja putih dan jins belel. Menyeruput kopi dengan temannya. Dia tertawa lepas ketika mendengar lelucon temannya. Seakan suara renyahnya terdengar sampai ke telingaku. Aku ingat dia suka sekali mendengar leluconku. Sambil tidur di kasur lalu berciuman lama.
Aku menghirup nafasku. Menyerap aromanya dari kejauhan. Menyesapnya dalam. Ah, rindu sekali aku dengannya. 
Kemudian, ketika ia menoleh ke arahku, aku hilang, moksa di tengah keramaian.

Monday, May 25, 2015

Malam


Malam mulai mengancam dan rasa asing datang menyingsing. Sudah pukul sebelas malam sementara aku masih susah menutup mata. Kucampur kopiku dengan sisa Bourbon, berharap kafein dan alkohol bisa memaksa mataku istirahat.
Hidungku mengendus aroma debu basah jalan dan asap Bacon dari penghuni sebelah. Lapar. Tapi kulkas hanya berisi susu yang hampir kadaluarsa. Terpaksa kutahan perut kosongku ini. Diganjal dengan kopi Bourbonku tadi.
Suara erangan kucing kelahi, deru truk angkutan, obrolan tak penting tengah malam, dan raungan sirene mobil polisi menjadi simponi suara kota ini.
Ngapain aku jadi sentimentil begini?
Kubuka laci mencari sigaret. Nihil. Aku lupa beli. Cuma pemantiknya saja.
Ya sudah. Kunyalakan apinya dan meniup padam. “Selamat ulang tahun,” bisikku sambil melihat asapnya melayang ke luar jendela.

Wednesday, May 14, 2014

Maria dan Miles


Musik Jazz mengajarkanku tentang sepi sambil menikmati seteguk kopi.
Aku membuka tirai jendela. Melihat pendar cahaya kota yang pecah tertimpa sisa hujan sore. Bau rumput basah, udara dingin, dilengkapi aroma kopi. Ada apa dengan diriku? Mengapa tiba-tiba jadi sentimentil begini?
Ringkihan menyihir trompet Miles Davis mengisi flatku yang berantakan. Sofa yang kotor. Piring dan gelas yang belum dicuci. Dan bau apa ini? Hidungku mengendus.
Kunyalakan sigaret satu-satunya yang tersisa. Kopi dan Miles Davis. Apalagi yang kubutuhkan untuk menikmati sepi? Temanku pernah cerita, paling enak mendengarkan Jazz dengan segelas red wine. Ah, terlalu borjuis buatku. Kopi punya filosofi yang klop dengan Jazz.
Aku rebahkan punggungku di tepi jendela. Melihat bulan pucat. Melihat payung-payung berwarna melintas tanpa mengucapkan salam.
Tiba-tiba aku rindu kamu.
Terkutuk kau, Miles.

Tuesday, April 15, 2014

Tuhan

Oh, tuan Tuhan?
Maaf, disini tidak ada ganja

Menagih Bintang

Senja mulai melukai langit. Maria sedang duduk di bingkai jendela. Melihat ke angkasa, memetik senar gitarnya. Cahaya senja menampar tubuhnya, memahatnya menjadi siluet emas merona.
Tubuhnya menggeliat. Kepalanya lalu menengok ke arahku. Yang memegang secangkir kopi. Dan sebatang sigaret yang hampir habis.


"Sedang apa?" Tanyaku.
"Ingin memandang bintang," jawabnya. "Sudah lama aku tidak melihatnya."
Aku rangkul bahunya. Kucium telinganya sambil berbisik sebuah kalimat. Ia tertawa pelan. Lalu menghapus bekas ludahku.
Aku duduk di sampingnya. Mendengarnya memetik dawainya. Memainkan sebait lagu dari The Beatles. 
Tak kusangka. Hatiku ikut dipetik olehnya.

Sudah Lama


Inginkah kau menulis dengan hujan sebagai tinta
Atau memakai air mata menggantikan aksara.
Menulis dengan hati tapi tanpa kata
Lebih bermakna.
Daripada berkata-kata penuh bunga.

Tuesday, July 24, 2012

How Stone Roses saves my soul

Pertama kali saya tahu Stone Roses kira-kira kelas 3 SMA. Waktu itu pas jam kosong. Teman saya yang jago gitar lagi ngulik lagu di walkman-nya. (berikut saya coba ingat kejadiannya, lengkap dengan kosa kata 90-an)

"Lagi denger ape lu?" 

"Stone Roses."

"Apanya Guns n roses?"
(Catatan: waktu itu saya belum memutuskan pilihan genre musik saya. Jadi referensi musik waktu itu kalau bukan heavy metal, ya rap.)

"Ca'ur lu. Keren abis nih band. Nih denger."

Dia lalu memasang salah satu earphone ke telinga saya.  Sumpah, bukan melebih-lebihkan, tapi waktu saya mendengar sengaunya Ian Brown, cakaran senar John Squire, cubitan bas Mani, dan gebukan drum set Reni, saya benar-benar dapat pengalaman baru. Musiknya yang agak psikedelik, bikin saya kayak melayang ke langit ke tujuh!

Langsung saya sembah-sembah teman saya untuk pinjam kasetnya. Awalnya dia menolak karena reputasi saya sebagai tukang pinjam yang tak pernah mengembalikan. Tapi karena saya gak berenti merayu (temen saya ini cowok, jadi bayangkan saja kerasnya usaha saya), akhirnya dia luluh juga (sebuah keputusan yang masih disesali sama dia karena saya gak pernah balikin kasetnya).

Pulang sekolah, saya masuk kamar. Kunci pintu dan langsung menyetel kasetnya. Jiwa saya merasa terbebas saat itu juga. Maksudnya, saya seperti menemukan dunia saya, yaitu musik. Soalnya menurut saya, selama SMA, ada tiga kasta besar: Sport, Musik, dan Akademik. Di luar dari 3 itu, jadi Alay.

Sejak itu saya tergila-gila sama musik. Sampai akhirnya saya jatuh cinta sama musik Britpop hingga sekarang. Tapi saya gak pernah lupa sama Stone Roses dan mimpi, suatu hari, saya bisa melihat mereka main dalam satu panggung.

Dan mimpi itu jadi kenyataan. Istri saya yang tahu saya fans berat Stone Roses memberi tahu kalau Stone Roses akan main di Singapura. Dia menawarkan kalau saya mau nonton atau tidak. Saya tolak (meski berat) karena ongkosnya pasti mahal dan duitnya lebih baik buat sekolahnya si Rakai. Tapi ternyata, diam-diam istri saya membelikan satu tiket buat saya. Ketika diberitahu, jantung rasanya mau copot. Akhirnya saya bisa menyaksikan band yang mengubah hidup saya...

Dan waktu melihat Ian Brown, John Squire, Mani, Reni main dalam satu panggung, mata saya berair. Hidup saya seperti berkilas balik ke jaman saya pakai topi pancing, pakai jaket adidas, dan jins sambil melempar-lempar mic ala Ian Brown. Jelas buat saya, menyaksikan Stone Roses seakan menjadi momen yang pasti diingat sama saya. 

Mungkin, suatu saat, kalau ketemu teman saya yang meminjamkan kasetnya, saya akan bilang terima kasih.


Thursday, April 01, 2010

Band of Brothers

Gue selalu menyamakan kerja di iklan salah satu adegan di film Band of Brothers.

Setelah Easy Company bertempur di kota Foy di Belgia, mereka berkumpul di sebuah gereja mendengarkan koor. Satu per satu, di antara mereka lalu menghilang diselingi narasi tentang apa yang terjadi tentang nasib mereka--yang kebanyakan tewas di pertempuran.

Ini persis apa yang gue alami dengan kerja di iklan: Friends comes and go quicker than a blink of an eye. Ada yang baru kenalan hari ini, sebulan resign. Ada yang baru kenalan jam ini, besok resign. Ada yang baru kenalan detik ini, satu jam kemudian resign.

Untung masih ada berbagai social networking di dunia maya yang masih bisa kontak-kontakan, tukeran cerita, nostalgia, romansa, (dan tentunya) lowongan kerja. Tapi itu gak bisa menggantikan masa-masa membuka pagi dengan sebatang rokok, segelas kopi, dan segudang curahan hati tentang pekerjaan kemarin dan hari ini.

Friends may come and go, but friendship still exist... virtually.

Wednesday, April 22, 2009

Bayi Maria


“Anakku lahir tadi pagi,” lirihku di telepon.

“Laki apa perempuan?” Tanya Maria.

“Laki.”

“Normal atau cesar?”

“Normal. Masuk jam 9 pagi kemarin, baru melahirkan jam setengah dua siang hari ini.”

“Wow. Lama banget. Tapi istri kamu gak apa-apa kan?”Dari suaranya nampak terkejut. Tapi aku tahu dia pura-pura. Dia memang tidak bisa berbohong.

“Cuma masih kelelahan saja. Dia lagi tidur.”

“Anak kamu persis kamu?”

“Untungnya gak, kasian dia nantinya,” jawabku sambil tertawa.

“Lho kok gitu? Punya anak gak mirip sama kamu kok malah bersyukur,” tanyanya heran.

“Soalnya kalo mirip sama aku, masa remajanya bakal sama kayak aku: gak disukain perempuan yang berbuntut sama mabok-mabokan ha ha ha.”

Aku bisa mendengar suara tertawanya dari ujung telepon satunya lagi. Sejak pulang ke Jakarta, berhubungan dengannya lewat telepon bisa dihitung dengan jari.

“Kalau aku punya anak, seperti apa ya nantinya?”

“Kalau perempuan, cantik kayak kamu.”

“Gombal! Emangnya siapa yang bilang aku cantik?”

“Ya aku lah! Makanya…”

Ups, aku baru sadar kalau baru saja lidahku terpeleset. Segera aku tutup rapat-rapat mulut sialan ini sambil menunggu reaksinya. Tapi tidak ada sahutan apa-apa darinya. Kami lalu terdiam beberapa detik. Lalu aku dengar jawabannya…

“Makanya kamu cinta aku?”

Aku tahan mulutku yang bandel ingin menjawab pertanyaannya.

“Kamu cinta aku melebihi istri kamu?” Tanyanya lagi.

“Kita sudah pernah membahas ini,” jawabku menggantung.

“Ya kita bahas lagi sekarang. Lupakan istrimu dan tinggal sama aku di Tokyo.”

Aku akan berbohong kalau aku tidak pernah berpikir soal itu sebelumnya: pergi dari Jakarta, tinggal di Tokyo bersamanya, dan melupakan masa lalu. Tapi aku juga belum bisa menjawab pertanyaan apakah aku akan lebih bahagia?

Aku jatuhkan pantatku di ujung ranjang istriku tidur. Dia nampak lelap setelah seharian berusaha melahirkan. Lalu aku lihat anakku disebelahnya. Matanya, bibirnya, jari-jarinya. Tidak ada yang lebih sempurna.

“Halo Maria. Aku telepon kamu lagi. Istriku baru saja bangun.”